KISAH TENTANG HALIMAH SA'DIYAH




Halimah adalah  ibu susu kedua Nabi Muhammad yang karena kemuliaan hatinya kerap disebut ‘ibu’ oleh Rasulullah.  Ibu susu  Nabi yang pertama adalah  Thuwaibah.

Nasab Halimah
Halimah nama lengkapnya adalah Halimah binti Abu Dua’ib as Sa’diyah.  Halimah berasal dari Bani Sa’ad bin Bakr.
Suaminya bernama Harits bin Abd al Qira  [ dalam beberapa literatur ditulis sebagai Al Harits bin ‘Abdul ‘Uzza atau Abdul Izzi ], atau Abu Kabsyah.

Anak Anak Halimah :
  1. Kabsyah bin Harits bin Abd al Qira. anak Halimah
  2. Abdullah bin Harits bin Abd al Qira , anak Halimah
  3. Anisah binti Harits bin Abd al Qira, anak Halimah
  4. Hudzafah atau Judzamah binti Harits bin Abd al Qira  atau yang lebih dikenal gelarnya sebagai Syaima.  Beliau merupakan salah satu ibu yang mengasuh Rasulullah SAW dan pernah menjadi tawanan perang Hunain dan kemudian dibebaskan.
Awalnya, Halimah mengasuh Nabi Muhammad hanya sampai beliau berusia 2 tahun. Namun  karena kasih sayang Halimah yang begitu besar kepada Nabi ditambah dengan kekhawatiran Halimah akan keselamatan Nabi, Halimah meminta kepada Aminah untuk tetap mengasuh Muhammad beberapa tahun lagi.
Ia membujuk Aminah bahwa Muhammad akan lebih baik hidup di pedalaman ketimbang di kota Mekah yang pada saat itu, memang tengah dilanda wabah penyakit.
“Biarkanlah Muhammad bersamaku lagi hingga dia agak besar dan tubuhnya sudah kuat melawan bibit penyakit yang menghinggapinya,” kata Halimah dengan memelas.
Aminah yang tentu saja menyayangi anak semata wayangnya, tidak ingin Muhammad ikut terkena penyakit. Akhirnya, dengan berat hati Aminah melepas kembali Muhammad. Namun ia percaya akan ketulusan cinta Halimah, sehingga Muhammad bisa tumbuh lebih baik ketimbang di kota Mekah yang silih berganti dilanda wabah.
Betapa senangnya Halimah ketika Aminah mengizinkan untuk membawa pulang kembali Muhammad.
.

Kisah Halimah


Berpisah Dengan Bunda
Inilah pelita paling terang yang pernah ditemui Aminah. Sinarnya melebihi cahaya matahari namun disertai keharuman daun daun di pagi hari. Sungguh, kelahiran Muhammad telah mengembalikan senyum dan tawa di wajah Aminah. Moment kebahagiaan itu telah hadir sempurna dalam kisah hidupnya. Ibunda yang tengah dilanda senyum menikmati wajah menakjudkan anaknya.
Mudah dipahami bila Aminah begitu berbahagia menerima kelahiran buah hatinya ini. Kematian suami yang begitu tergesa-gesa, membuat batin Aminah porak poranda. Bayi inilah yang menjadi semacam perekat kesemrawutan batinnya.
.
Kelahiran seorang bayi memang membawa pengaruh luarbiasa bagi orangtuanya. Ada semacam perasaan melayang yang tak akan pernah mampu dijabarkan dengan tepat. Semacam keadaan ektasi yang membuat ketagihan. Adakah yang lebih sempurna dari seorang anak yang membawa kebahagiaan pada ayah ibunya?
Bisa dibilang, Muhammad kecil menjadi seperti ‘candu’ bagi sang bunda. Dimana kasih sayang dan ciuman hanya tercurah padanya. Semua cinta adalah untuk Muhammad.
.
Aminah melewati hari-harinya bersama Muhammad dengan kebahagiaan melangit . Seakan tak ingin sebentar pun ia meninggalkan bayinya. Muhammad adalah belahan jiwanya. Sumber kekuatan hidup dan harapan. Aminah sungguh ingin mengasuh Muhammad dengan dua tangannya sendiri. Kendati keinginan itu bukanlahlah suatu kelaziman bagi bangsa Arab padamasa itu. Adat istiadat mereka mengharuskan para ibu dari kaum bangsawan berpisah dengan bayi-bayinya untuk disusui perempuan dari pedalaman. Sebuah kebiasaan yang sulit untuk dipahami oleh bangsa, suku bahkan manusia lain.
.
Namun, jalan hidup sudah dipersiapkan Allah kepada Sang Kekasih. Sebuah misteri kehidupan yang bisa jadi tak akan pernah mampu dipahami umat manusia tengah menunggu dengan harap-harap cemas. Garis nasib akan membawa Muhammad jauh dari pelukan dan cinta sang Bunda. Kemana Muhammad akan berlabuh bila hidup bersama sang Bunda bukanlah takdir yang harus dijalaninya? Dan mengapa?
Sukar dipahami memang. Ketika itu Aminah tak mampu mengeluarkan air susu seperti lazimnya perempuan yang habis melahirkan. Kedua payudaranya seperti layu dan pupus.
Mengapa air susu Aminah tidak menetes sedikitpun? Bila tidak ada air susu, bagaimana bayinya bisa hidup? Bukankah hidup bayi yang baru lahir bergantung pada air susu ibunya? Kenapa Aminah tak mampu memberinya air susu?
Kenyataan ini sungguh menyusahkan hatinya. Kecemasan dan kesedihan seakan saling menyusul menyelimuti perasaan Aminah.
.
Apa yang terjadi pada diriku, sehingga aku tak mampu menyusui bayiku sendiri? Aminah merasa seperti terpasung tiba-tiba. Buat seorang ibu, tidak mampu menyusui anaknya adalah seperti menderita kekalahan pada inning pertama. Telak dan menyakitkan. Rasanya seperti memiliki cacat bila air susu tak menetes sedikit pun.
Kendati segala cara telah ditempuh, semua jenis obat-obatan telah diracik dan diteguk. Namun payudara itu tetap kering. Dan betapa pilu hati Aminah. Muhammad kecil telah berusia beberapa hari, namun setetes susupun belum melewati tenggorokkannya. Kendati demikian, bayi itu tetap tenang dan ah, ia masih bisa tersenyum. Seolah-olah menenangkan hati bundanya. Janganlah bersedih, Ibunda sayang!
Aminah terus berusaha, namun air susu itu tetap kering. Ia yang semula berkeinginan untuk menyusukan dan merawat sendiri bayinya, kini harus menyerah pada takdir yang meliputi Muhammad. Sebuah kekuatan besar seakan tengah bermain-main disini. Tak ada jalan lain. Kesehatan dan keselamatan si bayi adalah segalanya. Aminah harus merelakan mengikuti kemana takdir membawanya.
Bersama tradisi suku Arab, bayi Aminah berpindah ke perempuan pedalaman. Pada abad ke 6 SM, masa ketika Muhammad dilahirkan, di kalangan bangsawan dan hartawan bangsa Arab , telah terjalin tradisi unik dalam hal pengasuhan bayi. Mereka akan menitipkan bayi-bayi mereka kepada para keluarga Badui gurun.
.
Meskipun kebayakan orang-orang Arab itu tidak lagi hidup nomaden dan mereka telah membentuk lingkungan social baru yang temtatif, dasar-dasar pemikiran kaum nomaden tetap mereka jalankan. Bisa jadi ini hanya sebagai symbol bahwa mereka berasal dari gurun. Sehingga mereka tetap mempercayakan kehidupan ini pada alam yang keras sebagai basis pertama kehidupan anak. Karakteristik alam di Negara-negara Arab memang unik dan istimewa. Disanalah sebuah miniatur kehidupan yang sesungguhnya disajikan. Dimana ‘primata’ berakal atau manusia ditempa menjadi mahkluk dengan tingkat survivel yang tinggi. Alam padang pasir akan mengubah tanpa ampun jiwa-jiwa murni menjadi sesosok manusia dengan daya tahan tubuh luarbiasa. Kuat, pemberani, pantang menyerah namun sebaliknya juga amat pemurah.
.
Gurun pasirnya yang membentang ribuan kilometer, badai yang seringkali datang dengan cepat dan kejam, angin kering dan semua kekuatan alam ditunjukkan diwilayah ini. Dibutuhkan jiwa dan fisik yang keras untuk mampu hidup di alam ini.
Kemungkinan besar, itu yang menyebabkan mengapa klan-klan Arab yang tidak lagi nomadens dan hidup kaya raya, masih mempercayakan bayi-bayi mereka pada suku pedalaman atau Badui. Disamping situasi dan kondisi kota-kota besar seperti Mekah yang rawan akan datangnya wabah penyakit. Sejarah juga mencatat banyak bayi yang mati karena terjangkit wabah. Sanitasi yang buruk, tingkat pengetahuan akan kesehatan yang rendah ikut memperburuk situasi kota-kota di Arab. Wabah penyakit datang silih berganti. Pada saat Muhammad lahir, kota Mekah pun tengah dilanda wabah. Banyak bayi yang mati karena terkena wabah ini, bahkan unta-unta yang dikenal kebal akan kuman penyakit, mati berjatuhan. Betapa mengerikan. Bisa dimaklumi bila Mekah sering dilanda wabah penyakit yang datang silih berganti, persis seperti para undangan sebuah perayaan. Darah dan sisa bangkai binatang persembahan, lalat yang bergerombol berpesta, udara panas yang mampu menaikkan tensi darah, ditambah kekeringan yang setia berkunjung. Bila hujan tiba, air dari bukit seperti tumpah ruah melewati gang-gang, menyapu semua sampah dan menggenangi pelataran Kabah. Semua ini menjadi sarang segala hama dan penyakit.( 5) hashem, hal 84
.
Sehingga ketika bayi-bayi membutuhkan kehangatan pelukan ibunda dan mereguk cinta kasihnya, suku-suku bangsa di Arab yang hidup di kota lebih memilih airsusu para ibu pedalaman ketimbang asi ibu-ibu kandung mereka.
Lingkungan yang masih alami dan asi yang murni dan segar sepertinya menjadi instrument dasar, tanpa syarat, bagi tumbuh kembang seorang anak pada bangsa Arab. Selebihnya, adalah urusan remeh temeh. Itulah sebabnya mencari dan menetapkan ibu susu menjadi sama sulit dan ruwetnya dengan mengandung selama sembilan bulan. Banyak syarat yang mesti di penuhi. Mulai dari kondisi fisik ibu susu, dengan melihat apakah payudaranya masih penuh atau kering, hingga lokasi hidup kaum si ibu susu. Semakin jauh ke pedalaman, maka semakin mahallah harganya. Karena itu berarti kehidupan mereka masih murni dan alami.
Lebih dari soal alam padang pasir atau air susu ibu, tradisi pengasuhan ini pun di picu oleh keinginan agar anak-anak mereka menguasai bahasa Arab tingkat tinggi dengan baik. Eperti bahasa Badui pedalaman. Lebih dari itu, bahasa yang dipergunakan oleh suku pedalaman masih murni dan indah.
.
Pada masa itu orang-orang Arab percaya pada ‘kekuatan’ bahasa. Mereka yang menguasai bahasa secara fasih dan sempurna, dipercayai akan mampu menjadi pemimpin tangguh dan sukses. Sehingga tidak heran, bila profesi penyair menjadi salah satu profesi terhormat pada masa itu. Karena buta huruf masih menguasai semenanjung, para penyair akan menyampaikan syair mereka dengan keras.
.
Mereka yang mampu membuat syair-syair indah, memukau sekaligus menghanyutkan akan mendapat kehormatan layaknya pejabat tinggi Negara. Lebih dari itu, para penyair bisa dianggap sebagai ‘media massa’ versi abad 6SM. Karena lewat para penyair itulah semua berita berkumpul dan disebarluaskan. Siapa yang mampu ‘menguasai’ para penyair, maka ia diibaratkan menguasai ‘media massa’. Ia akan mampu mengontrol apa-apa informasi yang bisa disebarkan kepada suku-suku lsin, sesuai dengan kepentingan pribadi atau klan mereka. Informasi itu dinterpretasikan sedemikian rupa sehingga mampu mempengaruhi pihak lain dalam perang propaganda.
Disamping tentu saja, pada masyarakat Arab abad itu, kata-kata penyair sama sakralnya dengan kata-kata seorang kyai pada abad sekarang. Penyair bahkan dipercaya memiliki unsure magis, pembentuk opini masyarakat. Itulah sebabnya beberapa penyair ditengarai karyanya bersifat amat politis ketimbang seni.
Kelak, diasuhnya Muhammad di lingkungan pedalaman memberi kontribusi yang amat besar bagi pemahaman Muhammad akan ‘bahasa’ Allah lewat wahyu yang diturunkan kepadanya.Selain terserapnya segala kebaikan dari sifat bangsa Badui gurun, tentu saja. Sebagai insan yang diasuh dan dididik dengan kualitas bahasa yang baik, Muhammad akan mampu mengejewantahkan wahyuwahyu Tuhan Sang ‘Empunya’ bahasa-bahasa. Ia akan fasih berbicara dengan kaumnya.
(Kelak, setelah menjadi Rasul, Muhammad sering mengatakan: Aku yang paling fasih diantara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah keluarga Sa’ad bin Bakr)
Bukankah sebagai Nabi kelak, dirinya dituntut untuk mampu memahami apa-apa yang diwahyukan Allah kepadanya dan mengkomunikasikannya kembali dalam bahasa yang sama kepada umatnya?
.
Barangkali, inilah salah saatu ibrah dibalik pengsuhan Muhammad di daerah pedalaman.
Keadaan fisik Aminah yang tidak mampu menyusui bayi Muhammad, membuat Aminah harus sesegera mungkin menemukan seorang ibu yang mau menyusui bayinya. Menunggu para perempuan pedalaman datang ke Mekah dirasakan cukup lama, padahal bayi Muhammad harus sesegera mungkin disusukan. Abdul Muthalib yang mengetahui keadaan ini merasa sedih hatinya. Cucu yang disayanginya tidak bisa menyusu. Agar sang bayi tidak mati kelaparan, Aminah akhirnya menyerahkan bayinya kepada Thuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, saudara kandung Abdullah.
Pada saat itu Thuwaibah juga sedang menyusui Hamzah, anak dari sang kakek, Abdul Muthalib yang juga baru lahir. Tetapi Hamzah dan Abdullah, ayah Muhammad, memiliki ibu yang berbeda.
.
Selama beberapa hari Thuwaibah menyusui Muhammad, terlihatlah sekelompokperempuan pedalaman memasuki kota Mekah. Ah, akhirnya mereka datang juga. Mereka berasal dari suku Bani Sa’ad. Badui ini merupakan salah satu klan tertua dan sisa badui purba Arabia. Mereka menghuni lembah antara pegunungan yang memanjang dari Tha’if ke selatan. Mendengar kabar itu bergegaslah Abdul Muthalib ketempat para perempuan pedalaman itu biasa berkumpul menawarkan jasa air susu mereka.
.
Tampak dari kejauhan para perempuan itu bergerombol dan Abdul Muthalib merasa gembira hatinya karena terbayang sang cucu akan segera bisa menyusu. Didekatinya mereka dan ditawarkanlah untuk menyusui Muhammad. Namun, apa daya, sejarah mencatat bahwa para perempuan itu menolak bayi cucu Abdul Muthalib ketika mereka tahu sang bayi sudah tidak memiliki ayah lagi. Ia adalah bayi yang yatim. Kelebihan materi apa yang bisa diharapkan dari bayi yang yatim? Apalagi, Aminah juga miskin.(9) Karen, hal 87
.
Padahal, para perempuan itu yang memang taraf hidupnya tidak terlalu baik, amat mengharapkan upah yang tinggi dari menyusui bayi. Mereka sedikit banyak menggantungkan kebutuhan ekonomi keluarga mereka dari pekerjaan seperti ini. Mendapati kenyataan ini, Abdul Muthalib kian bertambah risau. Jiwanya seperti disayat-sayat mendapati kenyataan cucunya ditolak dimana-mana. Namun, ia adalah laki-laki yang teguh dan penuh perjuangan. Kendati terus menerus ditolak, ia tetap menawarkannya pada para perempuan itu. Satu persatu didatanginya, hingga pada perempuan terakhir. Namun, kenyataan pahit memang harus dihadapi. Semuanya menolak.
.
Kekecewaan tergambar jelas pada gurat wajah Abdul Muthalib. Ia sungguh galau dan bersedih. Bagaimana jika pada akhirnya sang cucu tetap tidak mendapatkan ibu susu? Apa yang akan terjadi padanya? Abdul Muthalib terus berdoa dalam hatinya, agar sesuatu terjadi dalam situasi ini. Ia betul-betul mengharapkan ada perempuan yang sudi membawa pulang cucunya ke rumah mereka di pedalaman.
Tetapi, sebuah narasi sejarah besar tengah menanti seorang perempuan dari kabilah bani Sa’ad bin Bakr. Allah telah berkehendak bahwa Muhammad akan melewati masa kecilnya di pedalaman Bani Sa’ad sana.
Salah satu perempuan pedalaman yang juga mencari bayi yang akan diasuh, Halimah As-Sa’diyyah binti Abu Dzuaib, ditakdirkan Allah menjadi ibu susu bagi Muhammad.(10) ) Haekal, hal. 51: penulisannya Halimah bint Abi-Dhua’ib. Mubarakfury, hal 71. Al buthy, hal 30: penulisannya Halimah binti Abu Dzu’aib. Dan ketentuan Allah jualah yang akan terjadi.
.
Semula Halimah juga menolak untuk menyusui Muhammad. Karena ia mengharapkan adanya kelebihan rejeki dari upah yang telah disepakati, yang akan diberikan oleh ayah sang bayi. Bila ayahnya telah tiada, darimana keluarga itu memperoleh uang, bukankah sang ibu juga tidak bekerja? Apa pula yang bisa diharapkan dari seorang kakek? Tetapi seperti juga Muhammad, Halimah pun ditolak oleh para keluarga bangsawan yang mencari ibu susu. Seperti sebuah kebetulan yang mengundang senyum. Waktu itu penampilan fisik Halimah kurang meyakinkan. Tubuhnya kurus dan buahdadanya terlihat tidak penuh. Sehingga orang-orang kuatir bayi-bayi mereka tidak akan tercukupi kebutuhan asinya. Memang kenyataannya air susu Halimah tidak lancar keluar, sehingga Hudzafah atau Juzamah binti al-Harits (kelak ia lebih dikenal dengan julukan Syaima’) bayi mereka yang ikut dalam perjalanan itu pun kekurangan air susu dan terus menerus rewel. (11) ) Haekal, hal 51. Ditambah keledai betina putih kehijauan dan seekor onta tua yang mereka kendarai, tidak menghasilkan susu setetes pun. Sehingga mereka menghabiskan malam di perjalanan tanpa bisa tertidur sekejab pun karena tangis bayi mereka.
.
Ketika romobongan perempuan penyusu masing-masing telah mendapatkan bayi susuannya, mereka segera berkemas pulang. Hanya Halimah yang belum. Dan kenyataan ini sungguh tidak mengenakkan Halimah.
“Demi Allah, aku tidak sudi pulang bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi susuan. Aku akan pergi ke rumah bayi yatim tersebut dan akan mengambilnya menjadi bayi susuanku,” ujar Halimah kepada suaminya. (12) ) Mubarakfury, hal 72. Nur Wahidin, jilid 3
Al Harits bin ‘Abdul ‘Uzza, sang suami yang berjuluk Abu Kabsyah yang juga berasal dari kabilah yang sama, dengan bijak dan arif mengiyakan.
“Tidak mengapa, Halimah. Lakukanlah apa yang kau inginkan. Mudah-mudahan Allah menjadikan kehadirannya di tengah kita sebagai sebuah keberkahan”
.
Mendengar kata-kata Harits, bertambah yakinlah Halimah. Bergegas ia menemui Abdul Muthalib yang telah kelihatan letih dan sedih. Lalu dimintanya Abdul Muthalib untukmembawanya ke rumah cucunya karena ia bersedia menjadi ibu susu bagi Muhammad. Mendengar kesediaan Halimah, seketika wajah Abdul Muthalib menjadi cerah. Suka cita menyelimuti hatinya.
“Siapakah namamu?” tanya Abdul Muthalib.
“Halimah”
“Ah, sebuah nama yang berarti bahagia dan sabar! Dua sifat yang membawa kebaikan sepanjang masa, dan kemuliaan sepanjang abad” ujar Abdul Muthalib dengan tersenyum tenang. (13) Judah, periode Mekah, hal 98 Abdul
“Mari, kuantar kau kerumah anakku segera,”
Di rumah, Aminah tengah menanti kedatangan Abdul Muthalib dengan harap-harap cemas. Demi melihat Abdul Muthalib datang bersama seorang perempuan pedalaman, legalah hatinya. Ia menjadi tenang kembali. Kepada Halimahlah, Aminah menyerahkan pengasuhan Muhammad. Ia percaya pada kata hatinya, bahwa Muhammad akan dapat tumbuh sehat dan bahagia dalam asuhan keluarga Halimah.
Halimah dengan senyum tulus segera mengambil Muhammad dan menimangnya. Demi melihat wajah si bayi, ia langsung jatuh cinta dan merasa bahagia. Ia merasa keberkahan telah mulai meliputi hidupnya. Lalu, seperti sebuah insting, ia merasa payudaranya ingin segera menyusui Muhammad. Didudukkkannya Muhammad dan segera disusuinya.
.
Dan sungguh, keberkahan itu benar-benar datang. Air susu Halimah tiba-tiba memancar deras dan menyusulah Muhammad hingga kenyang dan tertidur pulas. Halimah sungguh terkejut sekaligus senang mendapati kenyataan itu. Kini hatinya tak ragu lagi untuk membawa Muhammad pulang ke pedalaman.
Dalam perjalanan, keberkahan juga menyapa Halimah. Onta tua milik mereka, tiba-tiba telah terisi penuh kantung susunya sehingga bisa diperah. Mereka meminum susu itu hingga kenyang. Bayi mereka pun tidak lagi rewel karena asi Halimah telah mengalir deras. Sehingga ketika mereka bermalam diperjalanan, keluarga itu bisa tertidur dengan nyenyaknya.
Pagi harinya ketika terbangun, Halimah berkata kepada suaminya.
“Inilah malam terindah yang pernah aku rasakan”
“Wahai Halimah, kamu telah mengambil manusia yang benar-benar membawa berkah” jawab Harits.
“Aku berharap demikian seterusnya, suamiku”
Lalu rombongan itu melanjutkan perjalanannya dan Halimah menunggangi keledainya yang semula lemah dan pelan jalannya, kini seperti memiliki energi baru. Bersama onta tua, halimah dan suaminya menikmati perjalanan dengan sangat menyenangkan. Kedua binatang tunggangannya kini mampu berjalan gagah dan cepat. Ini mengejutkan kelompok perempuan bersama bayi-bayi susuan mereka ketika Halimah mampu menyusul mereka.
Bukankah dalam perjalanan pergi binatang tunggangan mereka berjalan dengan payah sekali? Mengapa kini mereka mampu menyusul rombongan yang telah pergi lebih dulu?
.
Halimah menyapa teman-temannya dengan senyum tersungging di wajahnya. Ia benar-benar merasa bahagia karena telah membawa pulang Muhammad. Kemudian sampailah mereka di kampong halaman.
Para perawi sirah telah sepakat bahwa pedalaman Bani Sa’ad pada waktu itu sedang mengalami musim kemarau yang menyebabkan keringnya lading peternakan dan pertanian.(14) Al buthy, hal 30
Ketika Halimah tiba kembali di kampungnya, ia merasa cemas. Karena kampungnya terlihat begitu tandus, sepertinya tidak ada hamparan lain yang lebih tandus lagi. Mampukah ia mengasuh dan menyusui Muhammad ditengah keadaan alam yang gersang ini? Namun segera kekhawatirannya pupus. Tak lama setelah kepulangan itu, Halimah merasa rumput-rumput dan tanaman di sekelilingnya mulai tumbuh subur. Kambing-kambingnya kini banyak air susunya sehingga ia bisa memerah dan meminumnya, padahal kambing para tetangganya tetap kurus dan kering air susunya. Kejadian ini membuat kaumnya menyuruh para penggembalanya untuk mengikuti kemana pun putri Abu Kabsyah menggembalakan kambingnya.
.
Berkah ini sungguh menakjudkan Halimah sekeluarga, sehingga mereka semakin mencintai dan menjaga Muhammad.(15 ) Karen, hal 89
Di keluarga ini, Muhammad memiliki banyak saudara sesusuan seperti ‘Abdullah bin al-Harits, Anisah binti al-Harits dan tentu saja Syaima’. Disamping Muhammad, Halimah juga merawat Abu Sufyan bin al-Harits bin ‘Abdul Muthalib yang juga saudara sepupu Muhammad. Sejarah juga mencatat paman beliau, Hamzah bin ‘Abdul Muthalib juga disusui ditengah kabilah Bani Sa’ad bin Bakr.
.
Suatu hari, ketika ibu susu Hamzah berada di dekat Halimah, ia tergerak untuk ikut menyusui Muhammad. Diambilnya Muhammad dari gendongan Halimah dan disusuinya Muhammad. Sehingga Hamzah merupakan saudara sesusuan Muhammad dari dua pihak, Thuwaibah dan Halimah as-Sa’diyyah.
Di pedalaman, Muhammad tumbuh sehat, badannya bugar dan terlihat lebih bongsor atau besar dari teman sebayanya. Muhammad menjadi anak yang periang dan cerdas yang disukai semua orang tua dan teman sebayanya. Hingga usianya mencapai dua tahun, Muhammad telah menjadi anak kesayangan keluarga Halimah bahkan orang-orang sekampung.
.
Namun setelah dua tahun, usai pulalah saat menyusui dan kini Muhammad kecil harus disapih. Itu berarti saatnya Muhammad untuk pulang ke pangkuan bundanya. Namun Halimah sangat ingin mengasuh Muhammad lebih lama lagi. Itulah sebabnya ia berusaha keras membujuk Aminah agar mengijinkannya membawa pulang kembali Muhammad ke pedalaman. Ia membujuk Aminah bahwa Muhammad akan lebih baik hidup di pedalaman ketimbang di kota Mekah yang pada saat itu, memang tengah dilanda wabah penyakit.
“Biarkanlah Muhammad bersamaku lagi hingga dia agak besar dan tubuhnya sudah kuat melawan bibit penyakit yang menghinggapinya,” kata Halimah dengan memelas.
Aminah yang tentu saja menyayangi anak semata wayangnya, tidak ingin Muhammad ikut terkena penyakit. Akhirnya, dengan berat hati Aminah melepas kembali Muhammad. Namun ia percaya akan ketulusan cinta Halimah, sehingga Muhammad bisa tumbuh lebih baik ketimbang di kota Mekah yang silih berganti dilanda wabah.
Betapa senangnya Halimah ketika Aminah mengizinkan untuk membawa pulang kembali Muhammad.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG​ TOPOLOGI dan SEARCH ENGINE

BRIPASCAKSA